Monday 28 September 2015

Membangun Kemerdekaan Hati ; Refleksi Idul Adha



Sebagai manusia biasa ada perasaan tidak ikhlas saat Nabi Ibrahim mendapatkan perintah untuk menyembelih Ismail. Anak yang didam-idamkannya selama ini harus ‘hilang’ ditangannya sendiri. Namun rasa cinta Nabi Ibrahim kepada Allah lebih tinggi dari rasa cinta kepada anaknya. Perintah Allah untuk menyembelih Ismail  tetap dilakukan, walau dengan berat hati. Allah begitu sayang kepada Nabi Ibrahim, dengan kuasa-Nya Allah menggantikan Ismail dengan sekor gibas (domba) untuk menjadi kurban. Peristiwa itulah sejarah adanya Hari Raya Idul Adha.

Melalui peristiwa tersebut, Nabi Ibrahim mewariskan pengalamannya untuk menjadi ibrah (pelajaran) agar senantiasa menjadi pribadi ikhlas. Seberat apapun, perintah Allah harus tetap dilaksanakan. Menjadi pribadi ikhlas merupakan proses panjang dan ujian yang bertubi. Menghadapi ujian keikhlasan butuh ketekunan dan kesabaran, banyak orang yang tidak lulus. Allah selalu mengingatkan manusia untuk memperhatikan keikhlasannya dalam beramal.

Hakikatnya, memperjuangkan keikhlasan bukan untuk Allah. Allah tidak membutuhkan amalan mahluk sedikitpun. Apabila seluruh manusia dan jin dari awal bumi diciptakan hingga kiamat berkumpul dan menyembah Allah, tidak sedikitpun kebesaran Allah bertambah. Begitu juga apabila seluruh manusia dan jin dari awal semesta diciptakan dan menghina/mencaci maki Allah, tidak sedikitpun kebesaran Allah berkurang.  Allah sudah begitu Maha Agung dengan segala kekayaan dan kekuasaannya. Perintah menjadi pribadi ikhlas sesungguhnya adalah untuk kebaikan  diri sendiri, yaitu kemerdekaan hati.

Kemerdekaan hati adalah kondisi hati seseorang yang tidak bergantung dengan mahluk lainnya. Hatinya hanya bergantung kepada Allah semata. Setiap perbuatan,pikiran dan perasaaan dasarnya adalah hanya perintah dan larangan Allah. Allah Maha Mengetahui, bahwa ketergantungan manusia kepada mahluk lain hanya akan menciptakan kesengsaraan. Hanya ketergantungan manusia kepada Allah-lah yang menciptakan ketenangan. Allah menginginkan manusia bebas dari ketergantungan mahluk lainnya, agar mendapatkan ketenangan.

Tedapat dua kondisi hati yang tergantung dengan manusia/mahluk lainnya. yaitu ketergantungan positif dan negatif. Ketergantungan hati positif cenderung pada perasaan ingin dipuji, dihargai, dilihat, diketahui, dibalas. Dia senang melakukan kebaikan dan berharap dilihat dan diperhatikan. Dia merasa sakit hati apabila tidak dihargai, tidak dianggap, tidak dipuji atau disepelekan. Kata-kata yang sering keluar ”oh, perjuanganku sia-sia”, “jadi selama ini saya hanya …..”, “kenapa sih kamu tidak menghargai aku?”, “kok cuma mendapatkan segini” dan sejenisnya.

Ketergantungan hati negatif cenderung takut dicaci, dihina, direndahkan,diancam dan ditakuti. Orang tersebut senang kebaikan, tetapi ragu-ragu melakukannya karena takut direndahkan, dihina, dicaci maki atau di bully. Dia merasa rendah diri dan sakit hati apabila amalnya dihina, diomongi negatif, dilecehkan dan direndahkan. Kata-kata yang sering keluar”tuh kan,karyaku percuma”, “aku mau melakukan ini, tapi takut ini”, “betul ya kata orang itu,aku tuh.”,”aku berheti saja melakukan ini, aku takut…”dan sejenisnya.    

Ketergantungan hati baik sifatnya positif dan negatif, sama-sama tidak disenangi Allah. Allah tidak menginginkan manusia bergantung dengan mahluk lainnya. Allah menginginkan manusia hanya bergantung kepadaNya. Mengapa ?

Allah hanya menginginkan manusia berada dalam kondisi yang benar-benar merdeka. Bebas dalam arti yang sesungguhnya. Bagi orang ikhlas selama dasarnya perintah dan larangan Allah, dia tetap melakukannya. Terlihat atau tidak terlihat, dihina atau dipuji, dihargai atau dicaci maki, direndahkan atau ditinggikan, menyenangkan atau menyusahkan, semuanya sama. Fokus orang ikhlas adalah keridhoan Allah. Kepastian yang diperoleh adalah kebahagiaan dan ketenangan. Kemerdekaan hati sesungguhnya berada pada ketidakbergantungan diri kita dihadapan manusia lainnya. 

Ibrah (pelajaran) Hari Raya Idul Adha adalah kemerdekaan hati yang dibangun dari niat ikhlas, cara benar dan manfaat jelas. Perasaan tenang diperoleh dari niat yang ikhlas. Hati seseorang akan merasa lapang (merdeka) saat ia tidak memiliki kepentingan. Tidak memiliki kepentingan untuk memperoleh manfaat dari orang lain, fokusnya hanyalah memberi manfaat. Niat yang kokoh bersumber dari niat beribadah kepada Allah yang secara otomatis membangun keyakinan kuat dan kelapangan hati. Saat niatnya hanya untuk Allah, maka ia akan berfikir menggunakan cara yang benar. Output-nya adalah manfaat,baik berupa ilmu, harta dan kebahagiaan.

Membangun kemerdekaan hati membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Allah memberikan Hari Raya Idul Adha sebagai miniatur proses membangun kemerdekaan hati. Berqurban berarti meluruskan niat untuk meng-ikhlas-kan hewan qurban sebagai shodaqoh hanya untuk Alaalah semata. Bukan untuk kepentingan diri sendiri misalnya untuk keren-kerenan, popularitas atau dikenal sebagai dermawaan. Bukan daging dan darah hewan qurban yang sampai kepada Allah, tapi takwa (ikhlas)-nya yang sampai kepada Allah.


Keikhlasan berqurban juga perlu dijaga saat melaksanakan qurban dengan cara yang baik. Memotong hewan qurban sesuai dengan syariat Allah yaitu disembelih menggunakan alat yang tajam, harus terputus dua saluran dileher  dan tidak menampakan penyembelihan di depan hewan lainnya. Semua proses berujung pada nilai manfaat dari hewan qurban tersebut yaitu timbulnya rasa senang bagi orang yang dapat menikmatilezatnya daging dan kebahagiaan bagi semua orang. Semoga qurban kita semua diterima oleh Allah dan mentransformasi diri kita menjadi orang yang lebih ikhlas.

No comments:

Post a Comment