Saturday 16 May 2015

Politik energi, dilema pasar dan konstiusional


Maret 2015 Presiden Jokowi menaikan harga BBM. Mei mau naik lagi tetapi dibatalkan. Kenaikan harga BBM merupakan konsekuensi kebijakan subsidi tetap BBM. Pemerintah menghilangkan subsidi BBM untuk premium. Minyak tanah dan solar diberikan subsidi tetap 1000,- rupiah. Produk BBM lain mengikuti harga pasar. Dampaknya, harga BBM dalam negeri akan ber-fluktuasi sesuai dengan harga BBM di pasar internasional. 

Secara makro, kebijakan tersebut memberi ruang fiskal yang lebih longgar bagi pemerintah. subsidi BBM dialihkan kepada infrastruktur katanya. Di level mikro, rakyat merasakan langsung dampak kenaikan BBM berupa kenaikan harga barang.

Pasal 33 UUD 45 mengamanahkan sumber daya yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara. Amanah tersebut mengisyaratkan bahwa energi harus dikelola dengan benar untuk kesejahteraan masyarakat. Semua paham sejak negara ini berdiri, energi merupakan komoditas politik. Alat melanggengkan kekuasaan dan kesejahteraan. Political will penting dalam mengelola kebijakan energi demi tercapainya kedaulatan energi.

Sebagai komoditas politik, kebijakan energi berpengaruh besar terhadap kelangsungan kekuasaan. Sejak era Soekarno kebijakan energi khususnya kebijakan subsidi BBM pemerintah memilih menggunakan kebijakan subsidi harga. Kondisi tersebut terus berlangsung hingga era SBY yang masih menerapkan subsidi harga. Puncaknya, jumlah subsidi BBM pada APBN 2015 mencapai 300 triliun rupiah. Pemerintah era Jokowi memberikan alternatif kebijakan subsidi tetap. Pemerintah yang menentukan harga keekonomian BBM dengan mempertimbangkan harga pasar.

Kebijakan tersebut memberikan keuntungan. Pemerintah mengalokasikan pengalihan subsidi untuk membangun infrastruktur. Namun, antisipasi resistensi (penolakan) sebagian masyarakat diabaikan. Harga makanan, biaya transportasi dan barang kebutuhan lainnya sensitif terhadap kenaikan BBM. Jaminan perlindungan sosial tidak banyak membantu. Resistensi sosial tidak diantisipasi pemerintah. Apalagi pengalihan ke infrastruktur, dampaknya baru dirasakan dalam beberapa tahun mendatang. Substansi kebijakan energi era Jokowi sama dengan pemerintah sebelumnya.


Niat baik pemerintah ‘menyelamatkan’ uang negara, tidak diimbangi dengan pertimbangan antisipasi resistensi sosial dan penguatan struktur ekonomi. 

Alih-alih mempercepat pertumbuhan ekonomi, faktanya perekonomian melambat. Meningkatnya harga barang, lesunya konsumsi dan sepinya investasi tanda side-effect kenaikan harga BBM. Tanda-tanda ini apabila tidak diantisipasi akan menjadi bola liar bagi perekonomian.

Ada indikasi kemalasan berfikir lebih dalam oleh pemerintah terhadap pengelolaan energi. Alternatif penyaluran subsidi energi banyak disarankan ekonom. Misalnya subsidi tertutup, yaitu subsidi langsung ke masyarakat sasaran. Subsidi tersebut dianggap lebih berkeadilan dan diprediksi menekan konsumsi. Hingga saat ini, rencana tersebut tidak ada tanda-tanda untuk direalisasikan.

Pembenahan sektor energi secara menyeluruh belum serius. Program pemberantasan mafia migas, pengalihan BBM ke BBG dan pengembangan energi alternatif hilang kabarnya. Jangan tanya program revitalisasi infrastruktur gas dan pemerataan energi. Jauh.

Energi bisa menjadi alat pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat (seharusnya). Politik energi pemerintah era Jokowi tidak memiliki arah. Sistem ekonomi pasar masih menjadi kiblat. 

Indonesia tidak alergi dengan perdagangan bebas dan globalisasi. Keberpihakan untuk kesejahteraan dan keadilan harus menjadi kata kunci utama dalam menjalankan perekonmian. Keputusan MK pasal 28 ayat UU Migas 22 Tahun 2011 menjadi pesan jelas tentang substansi penetapan harga BBM bukan mengikuti pasar, tapi diatur pemerintah. 


Keberpihakan politik energi pemerintah terlihat saat harga minyak sudah diluar kemampuan daya beli masyarakat (>$120 ribu per barel). Subsidi tetap menjadi tidak relevan. Antisipasi resistensi sosial dan ekonomi harus dipersiapkan. Apabila terus diurai, bola panah harga minyak ini berdampak luas bagi perekonomian. Batalnya kenaikan BBM bulan Mei ini menunjukan masih hadir-nya pemerintah. Rupanya pemerintah masih punya 'hati' mendengar curahan hati masyarakat.

Politik energi pemerintah sudah seharusnya sejalan dengan amanah konstitusional. Kesegeraan, penyempurnaan dan antisipasi dari konsekuensi kebijakan energi harus menjadi prioritas dalam pembangunan energi. Politik energi harus lebih mengedepankan amanah konstitusi. Berkontribusi menghasilkan sesuatu yang produktif dan kesejahteraan seluas-luasnya. Energi harus menjadi panglima kesejahteraan. Jangan ada dusta diantara kita, apalagi berkhianat atas nama pasar.

No comments:

Post a Comment