Monday 18 May 2015

Parkir, Bank dan Rumah


Saya pernah membaca artikel di harian Kompas. berjudul Imperialisme Jasa. Penulisnya Radhar Panca Dahana. Pembahasanya menarik. Logika yang dibangun sederhana, namun pemikirannya dalam. Pembahasan tentang jasa parkir, bunga bank dan kepemilikan rumah. Lahan parkir dikomersilkan, bunga bank mencekik, rumah menjadi barang mewah. Semua orang sepakat, seakan sudah begitu adanya.

Teringat saat parkir motor di stasiun dan membayar 7000,- rupiah. Tampak murah dan wajar, tapi tidak bagi karyawan yang bekerja PP Bogor-Jakarta. Setiap hari mereka harus bayar parkir. Mereka membayar ±  200.000,- rupiah per bulan. Sangat berharga bagi karyawan bergaji upah minimum regional (UMR). Itu parkir, belum biaya transportasi lainnya. Lain cerita untuk parkir mobil.

Saya juga teringat ibu saat memutuskan mengambil kredit bank. Setiap bulan ibu harus membayar cicilan bunga yang lebih besar dibanding pokoknya. Hingga hari ini. Rentenir formal berwajah manis.

Seorang kawan belum punya rumah, kebingungan membayar down payment (DP). Apalagi dengan cicilannya. Bukannya tidak mampu, lebih karena tidak rasional. Selangit. Seorang kawan lainnya harus berpikir keras membayar cicilan kredit pemilikan rumah (KPR)-nya. Karena bunganya terus meningkat.

Kita bisa diam dan menerima. Toh sudah seharusnya seperti itu.

Atau berkomentar “ya pipis aja bayar, masak parkir gratis!”. “ya emang kalo minjem di bank-mah gitu!”. “semua orang juga gitu pas mau beli rumah!”

Seseorang cenderung diam dan menerima, saat mapan dengan pendapatan. Mampu membayar parkir, mencicil utang mobil atau sudah punya rumah. Namun, mata kita akan terbuka saat mengalaminya sendiri.

Alangkah bahagianya apabila 200,000 rupiah itu dibelikan susu untuk anaknya. Banyak hal bisa dilakukan PNS dengan uang bunga yang dicicilnya. Kita tidak akan mendengar kisah karyawan menahan lapar demi memiliki rumah. Atau cerita kontraktor (suka mengontrak) muda kebingungan membeli rumah, disisi lain banyak rumah kosong atas nama investasi.

Tanyakan hati nurani. Ketidakberdayaan atau ketidakadilan.

No comments:

Post a Comment